Materi Diklat Guru PAUD: Pengembangan Karakter pada Anak Usia Dini

PENGEMBANGAN KARAKTER


A.    Apa Itu Karakter?

Karakter berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut dengan berkarakter mulia.
Krakter mulia berarti individu memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut.
 Mempunyai akhlak mulia adalah tidak secara otomatis dimiliki oleh setiap manusia begitu ia dilahirkan, tetapi memerlukan proses panjang melalui pengasuhan dan pendidikan (proses “pengukiran”) dalam istilah bahasa arab karakter ini mirip dengan ahlak (akar kata khuluk), yaitu tabiat atau kebiasaan melakukan hal yang baik. Al Ghazali menggambarkan bahwa ahlak adalah tingkah laku seseorang yang berasal dari hati yang baik.
Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills).
Secara psikologis karakter individu dimaknai sebagai hasil keterpaduan empat bagian, yakni olah hati, olah pikir, olah raga, serta olah rasa dan olah karsa. Olah hati berkenaan dengan perasaan sikap dan keyakinan/keimanan seperti beriman dan bertatakwa, jujur, amanah, adil tertib, taat aturan, bertanggung jawab, berempati, berani mengambil resiko, pantang menyerah, rela berkorban, dan berjiwa patriotik. Olah pikir berkenaan dengan proses nalar guna mencari dan menggunakan pengetahuan antara lain, berfikir cerdas,  kritis, kreatif, dan inovatif, ingin tahu produktif, berorientasi Iptek dan reflektif, Olah raga berkenaan dengan proses persepsi, kesiapan, peniruan, manipulasi, dan penciptaan aktivitas baru disertai sportivitas, antara lain karakter yang bersumberdari olah raga adalah bersih dan sehat, sportif, tangguh, andal, berdaya, tahan, bersahabat, kooperatif, determinative, kompetitip, ceria dan gigih. Olah rasa dan karsa berkenaan dengan kemauan  dan kreativitas yang tercermin dalam kepedulian, citra, dan penciptaan kebaruan antara lain kemanusiaan, saling menghargai, gotong royong, kebersamaan, ramah, hormat, toleran. Olah hati, olah pikir, olah raga, olah rasa dan karsa, sebenarnya saling terkait satu sama lain.
Dapat disimpulkan karakter merupakan ciri khas seseorang yang mengandung nilai, kemampuan, kapasitas moral, dan ketegaran dalam menghadapi kesulitan dan tantangan.


B.    Tujuan Pendidikan Karakter

           Berbagai pendapat dari banyak pakar pendidikan anak, bahwa terbentuknya karakter (kepribadian) manusia adalah ditentukan oleh 2 faktor, yaitu (1) nature (factor alami atau fitrah), 2 nature (sosialisasi dan pendidikan).
Pengaruh Nature (fitrah). Agama mengajarkan bahwa setiap manusia mempunyai kecenderungan (fitrah) untuk mencintai kebaikan. Namun fitrah ini adalah bersifat potensial, atau belum termanifestasi ketika anak dilahirkan. Confucius, seorang filsuf dari Cina pada abad V SM juga mengatakan bahwa walaupun manusia mempunyai fitrah kebaikan, namun tanpa diikuti dengan instruksi (pendidikan dan sosialisasi), maka manusia dapat berubah menjadi binatang, bahkan lebih buruk lagi (dikutif dari Brooks dan Goble,1997)
Lebih lanjut, seorang Sufi, Bawa Muhaiyaddeen, mengatakan bahwa setiap manusia dilahirkan dengan segala macam potensi kebaikan, beliau mengibaratkan sebuah pohon yang akar aslinya adalah, misalnya pohon mangga harumanis, namun ketika pohon itu sedang tumbuh, diokulasi dengan jenis pohon mangga lain yang rasanya asam. Sehingga potensi pohon tersebut yang seharusnya berbuah mangga harummanis, ternyata berbuah mangga yang lebih jelek.Namun potensinya (akar dan fitrahnya) masih tetap mangga harummanis.
Nature. Faktor lingkungan, yaitu usaha memberikan pendidikan dan sosialisasi adalah sangat berperan didalam menentukan “buah” seperti apa yang akan dihasilkan nantinya dari seorang anak. Dalam pendidikan dan pengasuhan perlu  kita pertanyakan apakah kita ingin merawat fitrah kebaikan sehingga akan tumbuh menjadi “pohon” yang kuat, atau kita diamkan saja dengan tidak “merawat”nya sehingga anak itu menjadi kerdil, atau kita ingin okulasi dengan sifat-sifat keburukan kepada anak.
Ibaratnya sebuah pohon yang masih kecil yang mempunyai potensi menjadi pohon besar, merawatnya dengan kasih sayang adalah sangat diperlukan. Ketika pohon sedang tumbuh, disekelilingnya pasti akan tumbuh rumput-rumput gulma yang akan mengganggu pohon tersebut  untuk menjadi kokoh. Bahkan pertumbuhan gulma akan menjadi lebih cepat dan lebih mudah tumbuh besar dibandingkan pohon tersebut. Kita sebagai seorang tukang kebun yang merawatnya, harus terus membersihkan gulma tersebut, mencabut ketika gulma tersebut masih kecil. Apabila tidak, pohon yang sedang kita rawart akan tumbuh kerdil dan tidak dapat menjadi pohon kokoh seperti yang kita inginkan.
Begitu pula pada manusia, anak-anak dengan fitrahnya yang bersih, namun dalam proses tumbuh kembangnya pasti akan dikelilingi oleh berbagai sifat keburukan yang berusaha tumbuh menyaingi pertumbuhan fitrah tersebut, oleh karena itu sejak usia dini anak harus dirawat dan dididik dengan nilai-nilai yang akan menyuburkan fitrah kesucian manusia untuk tumbuh kokoh.
          Terkait dengan uraian di atas, untuk menumbuhkan karakter manusia diperlukan peranan pendidik. Peranan pendidik terhadap anak didiknya adalah : (a) mendidik, (b) mengjar, (c) membimbing, (d) melatih, dan (e) menilai. Kelima unsur peranan ini wajib dikembangkan oleh pendidik dan tidak boleh bertentangan fitrah(watak asli) yang baik dari peserta didik. Sebab menurut Saleh Abdurrahman (1982: 84) jika manusia sejak lahir membawa kebaikan-kebaikan (fitrah), maka tugas pendidik harus mengembangkan elemen-elemen (baik) tersebut yang dibawanya sejak lahir. Dan itulah yang banyak diperkenalkan juga melalui istilah nilai (Value), sebagaimana dinyatakan di dalam Encyclopedia Britannica bahwa value is determination or quality of an object wich involves any sort or appriciation on interest (nilai adalah suatu penetapan atau suatu kualitas obyek yang menyangkut suatu jenis apresiasi atau minat).
          Pendidik sebagai salah satu pembentuk karakter peserta didik, sementara lembaga pendidikan seperti sekolah  sebagai “laboratorium karakter” dapat membuat suasana pembelajaran untuk membentuk karakter yang diinginkan. Karakter itu adalah seperti diisyaratkan dalam tujuan pendidikan nasional dengan menempatkan pembentukan manusia indonesia seutuhnya berdasarkan keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia. Atas dasar-dasar itu kita harapkan karakter lulusan lembaga pendidikan mampu tampil menguasai ilmu, pengetahuan, sains, dan teknologi yang tetap berkepribadian sebagai seorang “anak” Indonesia.
               Adapun tujuan pendidikan karakter yang dilakukan di lembaga pendidikan terutama kober/TK adalah agar dapat memberikan arah mengenai konsep baik dan buruk sesuai dengan tahap perkembangan umur anak.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa   pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis, bertujuan untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

C.  Nilai-Nilai Karakter
Pendidikan karakter adalah sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya. Nilai-nilai karakter yang perlu di tanamkan kepada anak-anak adalah nilai-nilai universal yang mana seluruh agama, tradisi, dan budaya pasti menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai universal ini harus dapat menjadi perekat bagi seluruh anggota masyarakat walaupun berbeda latar belakang budaya, suku, dan agama.
IHI telah menyusun serangkaian nilai yang selayakanya diajarkan kepada anak-anak, yang kemudian dirangkum menjadi 9 pilar karakter, yaitu:
1.                         Cinta Tuhan dan Segenap Ciptaan-Nya (love Allah, trust, reverence, loyalty)
2.                         Kemandirian dan Tanggung jawab (responsibilty, excellence, self reliance, discipline, orderliness)
3.                         Kejujuran/ Amanah, Bijaksana (trustworthiness, reliability, honesty)
4.                         Hormat dan santun (respect, courtessy, obdience)
5.                         Dermawan, Suka Menolong dan Gotong Royong (love, compasion, caring, empathy, generousity, moderation, cooperation)
6.   Percaya diri, Kreatif, dan Pekerja Keras (confidence, assertiveness, creativity, resourcefulness, courage, determination and enthusiasm)
7.                         Kepemimpinan dan Keadilan (justice, fairness, mercy, leadership)
8.                         Baik dan Rendah Hati (kindness, friendliness, humility, modesty)
9.                         Toleransi dan Kedamaian dan Kesatuan (tolerance, flexibility, peacefulness, unity)
Dalam masyarakat yang heterogen seperti di Indonesia, nilai-nilai karakter yang ditanamkan harus menjadi dasar kesamaan nilaiyang akan menjadi perekat pada elemen-elemen masdyarakat yang berbeda, sehingga masyarakat dapat hidup berdampingan secara damai dan tertib, yang akhirnya menciptakan suasana sinergi yang sangat produktif bagi kemajuan bangsa.
Pada masyarakat yang heterogen dengan berbeda-beda latar belakang sosial budaya dan agama, adanya common values (nilai-nilai yang dijunjung tinggi bersama) sangat diperlukan. Nilai-nilai ini bisa menjadi perekat yang efektif sehingga akan tercipta relasi sosial yang harmoni, yaitu terjadinya rasa kebersamaan. Misalnya, adanya nilai kejujuran yang di junjung tinggi maka akan membuat setiap orang percaya pada kelompok masyarakat lainnya, bahwa mereka tidak akan diambil haknya atau ditipu. Juga dengan adanya tanggung jawab, setiap orang akan menjalankan kewajibannya, sehingga hak semua orang akan terpenuhi.
Ada beberapa nilai yang di anggap perlu untuk dijadikan fokus pendidikan karakter. Misalnya dalam Deklarasi Aspen dihasilkan enam nilai etik utama ( core athical values) yang disepakati untuk diajarkan dalam sistem pendidikan karakter di Amerika yang meliputi:
1.      Dapat dipercaya (trustworthy) meliputi sifat jujur (honesty) dan integritas (integrity)
2.      Memperlakukan orang lain dengan hormat (treats people with respect)
3.      Bertanggung jawab (responsible)
4.      Adil (fair)
5.      Kasih sayang (caring)
6.      Warga negara yang baik (good citizen)
            Untuk kasus Indonesia yang sedang bangkit dari kondisi kritis, Abdullah Gymnastiar (2001) mengatakan bahwa ada 7 (tujuh) ciri pribadi yang mampu meraih kesuksesan hidup, dan ketujuh ciri ini harus dimiliki manusia kalau ingin sukses. Ketujuh ciri ini disebut 7 T, yiatu Tenang, Terencana, Terampil, Tertib, Tekun, Tegar , dan Tawadhu. Gymnastiar percaya bahwa untuk membangun bangsa harus dimulai dengan Manajemen Qolbu, terutama membangun kebersamaan, persaudaraan, kedamaian, kejujuran, pemimpin amanah, dan semangat.
            IHF telah membuat konsep 9 pilar karakter untuk dijadikan modul pendidikan karakter, dan modul ini telah diujicobakan sejak tahun 2001 melalui kegiatan pra-sekolah (SBB) dan Sekolah Dasar (sejak tahun 2003). Setiap pilar adalah kumpulan dari beberapa nilai karakter yang serupa.. Kesembilan pilar ini  adalah nilai-nilai yang bersifat universal, yaitu (1) Cinta Tuhan dan Segenap Ciptaan-Nya, (2) Kemandirian dan Tanggung Jawab, (3) Kejujuran/Amanah, Bijaksana, (4) Hormat dan Santun, (5) Dermawan , Suka Menolong dan Gotong Royong,(6) Percaya Diri, Kreatif, dan Pekerja Keras, (7) Kepemimpinan dan Keadilan, (8) Baik dan Rendah Hati, (9) Toleransi, Kedamaian dan Kesatuan.
            Kesembilan karakter tersebut sesuai dengan yang diinginkan oleh Schopenhauer dan lain-lain yang mempunyai prinsip sama. Hanya saja kecintaan kepada Tuhan dan alam semesta beserta isinya dimasukan dan ditempatkan sebagai pilar pertama , karena semua kebijakan harus bersumber daripilar pertama ini. Untuk konteks Indonesia, aspek ke-Tuhan ini memang sesuai dengan apa yang terdapat dalam dasar ideology negara (Pancasila) yang ditempatkan pada sila pertama. Diharapakan dengan menanamkan 9 pilar ini, manusia Indonesia yang berkarakter dapat terwujud.
            Pada tataran kebijakan pendidikan nasional terbaru, kesembilan karakter yang  dikembangkan oleh IHF, ternyata sejalan dengan nilai-nilai yang ingin ditanamkan dalam konsep pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill) melalui Pendidikan Berbasis Luas (Brood Based Education) yang diluncurkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) pada tahun 2002. Orientasi pendidikan kecakapan hidup yang berkaiatan dengan pendidikan karakter adalah untuk mengembangkan general Life Skill anak dari jenjang pra-sekolah sampai sekolah menengah. Adapun aspek general life skill yang berkaitan dengan 9 pilar karakter adalah.
1.      Kesadaran diri (self awareness)
a.      Keimanan  sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa (pilar 1)
b.      Pengembangan karakter : cinta kebenaran (pilar 1), tanggung jawab dan disiplin (pilar 2), saling menghargai (pilar 4), dan membantu (pilar 5).
c.       Belajar memelihara lingkungan (pilar 5)
2.      Kesadaran akan potensi diri
a.      Belajar menolong diri sendiri (pilar 2)
b.      Belajar menumbuhkan kepercayaan diri (pilar 6)
3.      Kecakapan social (social skill)
a.      Kecakapan (pilar 5)
b.      Bekerja (pilar 5)
            Kesembilan pilar karakter tersebut dipakai sebagai salah satu ukuran dalam kompetensi dasar siswa TK dan SD dalam kurikulum “Integrated learning curriculum”.
            Kesimpulannya, nilai-nilai yang terkadang didalam 9 pilar karakter adalah merupakan shared-values yang dujunjung tinggi oleh bangsa Indonesia. Oleh karena itu, kekhawatiran beberapa pakar akan adanya isu “ whose values ?” (moralitas menurut siapa) yang harus ditanamkan kepada anak-anak, tidak relevan dalam hal ini.

D. Faktor-Faktor Penghambat dan Pendukung  Perkembangan Karakter Anak


Pembentukan  Dan Pemberian Rangsangan Karakter Sesuai  Perkembangan Anak

               Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada anak yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai. Oleh karena itu pendidikan karakter yang diberikan kepada anak  harus memperhatikan tahap-tahap perkembangan moral anak. Terkait dengan pendidikan Karakter anak beberapa pakar telah menyusun tahapan-tahapan perkembanganmoral individu, yang sebetulnya satu sama ;lain adalah saling melengkapi. Pendidikan karakter baik dirumah maupun disekolah harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan moral anak agar pendekatannya patut (appropriate).
               Menurut Kohlberg ada 6 paseperkembangan moral anak yaitu:
1.   Fase Bayi; Membangun fondasi Moral
           Pada fase ini bayi belum mengerti tentang moral, sehingga belum mengerti arti baik dan buruk. Peran orang tua pada fase ini memiliki peranan yang sangat besar, karena fondasi moral dibentuk dalam fase ini. Pada awal kehidupan bayi, kelekatan ibu dan anak sangat diperlukan, bahkan menurut Eric Neuman harus ada total bonding (penyatuan total) antara ibu dan anak, yaitu tidak ada keterpisahan antara ibu dan anak. Dikatakan bahwa  penyatuan sempurna ( uroboric state) hanya dirasakan manusia selama 9 bulan. Yaitu ketika didalam kandungan. Oleh karena itu  cinta dan kasih saying dari orang tua sangat dibutuhkan dalam fase ini.
Menurut Bolwby dan Alnswarth et.al. anak-anak usia bayi sangat membutuhkan;
a.   Kelekatan Psykologis Antara orang tua dan anak
b.   Ekspresi Cinta
c.    Responsif  terhadap kebutuhan anak
d.   Kebutuhan akan rasa aman
e.   Kebutuhan akan stimulasi fisik dan mentaltoritas
f.     Keseimbangan antara cinta dan o
Menurut Judith Schickedanz (1995) telah membuktikan adanya pengaruh positif kelekatan psikologi anak ketika bayi pada prilaku anak usia selanjutnya. Anak-anak yang mempunyai sifat kelekatan psikologis yang erat dengan ibunya mempunyai sifat lebih baik, yaitu mudah bergaul, mudah diatur, mempunyai mitivasi belajar tinggi, antusias dengan aktifitas disekolahnya, dibandingkan dengan anak-anakyang ketika bayi kurang lekat hubungan dengan ibunya.

2.    Fase Berfikir Egosentris 
           Fase ini menurut Bronfenbrenner adalah fase dimana anak berfikir sangat egois    ( self-oriented morality). Lockona mengatakan berkisar usia 4 tahun, Sedangkan Kohlberg bias bermula usia 1-5 tahun, yang disebut masa pre-conventional morality, yaitu tahapan “reward and punishment” (hadiah dan hukuman. Menurut tahapan Erikson anak pada usia 1-3 tahun,  adalah masa pembentukan outonormy versus shame and doubt  (kemandirian lawan malu dan keraguan), Pada masa ini anak mau berbuat baik kalau ada insentif (hadiah atau pujian), dan takut mendapatkan hukuman kalau bersalah.
           Anak pada usia ini adalah egois, sehingga sulit untuk berbagi mainan dengan kawan-kawannya, Oleh karena itu, sekolah yang baik harus menyiapkan lebih dari satu mainan yang jenisnya sama, agar tidak konflik antar lawannya di sekolah. Pada usia 2-3 tahun seorang anak yang cenderung egois, maka ada kecenderungan orang tua atau guru sering melarang atau membentak anak. Menurut  Erikson,  anak yang sering dilarang atau dimarahi tidak akan terbentuk masakemandiriannya, sehingga anak akan menjadi pemalu dan tidak percaya diri. Jika menemui anak seperti ini orang tua atau guru harus menghadapinya dengan cara member arahan yang lembut tetapi tegas, dan memberikan alasanyang jelas mengapa sebuah perbuatan dilarang dilakukan.
           Menurut Lickona, anak usia 2-3 tahun sudah dapat diperkenalkan sopan santun, dan perbuatan baik dan buruk. Pada usia ini sulit dsiatur, sehingga memerlukan kesabaran orang tua dan guru jika disekolah, selain egois anak pada masa ini  senang melanggar aturan, memamerkan diri, dan senang memaksakan keinginannya yang kadang-kadang dilakukan secara manipulatif dan berbohong. Namun anak pada fase ini bias mengerti kaidah moral baik dan buruk bila diajarkan. Mereka mau berperilaku daik karena ingin mendapatkan hadiah/pujian dan menghindari hukuman. Mereka juga bisa menunjukan sikap kooperatif dan kasih saying sejauh tidak konflik dengan kepentinggannya.
           Menurut ahli psikologi ada beberapa cara yang harus dilakukan dalam memberikan pendidikan karakter pada anak-anak fase ini;
Menurut Lickona, dengan cara memberikan insentif agar anak berperilaku baik  misalnya, dengan cara memberi pujian, memberikan arahan yang jelas tentang bagaimana perbuatan yang baik ( misalnya, anak yang baik tidak akan memukul temannya), memberikan aturan sangsi yang jelas (misalnya anak yang berteriak tidak sopan tidak akan diberikan kesempatan untuk menggambar dipapan tulis) cara ini akan efektif karena anak-anak pada fase ini adalah disebut fase egosentris, sehingga si anak akan menurut apabila kepentingannya dapat dipenuhi.
           Menurut Ericson, cara terbaik untuk menghadapi anak usia ini adalah dengan memberikan beberapa pilihan, sehingga mereka dapat mengembangkan beberapa pilihan, sehingga mereka dapat mengembangkan rasa percaya diri, dan kemandiriannya, yaitu dalam menentukan sendiri apa yang diinginkannya. Misalnya, pada waktu-waktu tertentu sekolah memberikan beberapa alternative permainan di kelas, dan membolehkan anak memilih sendiri sesuai keinginannya.
           Anak pada fase ini sudah mempunyai rasa empati,karenanya cukup afektif seorang anak diajarkan melihat dari perspektif orang lain ( misalnya ibumu akan sedih kalau kamu berbohong”, atau akan alangkah senangnya  hati ibu guru kalau kamu membantu ibu guru untuk tidak berteriak di dalam kelas” )
           Ada beberapa yang perlu menjadi perhatian orang tua atau guru disekolahnya untuk menghadapi anak fase egosentris, dimana para pendidik harus mengerti bahwa anak pada fase iniagak sulit untuk ditanganni, tetapi itu tidak berlanjut lama, melainkan hanya sementara saja

3.   Fase 2 ; Patuh Tanpa Syarat
           Menurut Thomas Lickona, fase patuh tanpa syarat  berkisar antara usia  empat setengah tahun (4 ½)  sampai 6 tahun. Anak-anak pada fase ini lebih mudah menurut diajak kerja sama, sehingga mereka mudah mengerjakan perintah orang tua atau guru. Alasan mereka ingin patuh karena agar terhindar dari masalah atau hukuman, Namun ada kalanya anak-anak usia ini masih menunjukkanperilaku anak-anak fase 1, yaitu sangat egosentris. Hal ini berarti anak-anak tersebut perkembangan moralnya tidak optimal.
           Lickona mengatakan bahwa cirri khas perkembangaanmoral anak-anak fase ini adalah;
·         Dapat mednerima pandangan orang lain, namun pandangan yang dianggap benar adalah orang dewasa.
·         Bisa  menghormati otoritas orang tua atau guru
·         Menggap orang dewasa adalah maha tahu dan mudah  untuk melihat kawannya yang  nakal atau melanggar aturan.
·         Senang mengadukan kawan-kawannya yang nakal karena menganggap orang dewasa adalah satu-satunya panutan moral. Mereka menganngap bahwa yang melanggar aturan harus dihukum, dan yang baik harus diberi hadiah
·         Walaupun mereka berfikir bahwa mereka harus  mematuhi aturan, apabila mereka tidak ada orang dewasa atau guru yang melihat mereka cenderung  melanggarnya mereka belum mengerti mengapa peraturan dibuat.
      Pada fase ini pendidikan karakter dapat diberikan secara control eksternal dimana guru dapat secara otomatis mengajarkan moral baik dan buruk.  Anak pada fase ini sangat percaya terhadap apa yang diucapkan gurunya, maka  pada fase ini sangat penting ditanamkan perilaku baik dan sopan.Pada fase ini pendekatan pendidikan karakter harus memberikan peluang bagi anak untuk mengerti alasan lain diluar alasan guru. Misalnya, mengapa mengapa mencuri tidak baik, anak pada fase ini pasti member alasan karena takut dihukum., tatapi tidak bias melihat pada tingkat yang lebih tinggi. Oleh karena itu perlu diberikan pandangan bagaimana kalau temanmua mencuri mainan kesukaanmu.

4.   Fase 3; Memenuhi harapan Lingkungan
           Pada fase memenuhi harapan lingkungan menurut Kohlberg menyebutnya fase “anak baik”  (good boy/ good girl stage). Anak-anak pada fase ini ingin diterima kawan-kawannya, sehingga tindakannya cenderung ingin disesuaikan dengan apa yang diharapkan dalam lingkungan sebayanya. Pada masa ini anak sudah mengerti moral baik dan buruk (golden rool) , tetapi lebih didorong oleh keingginan untuk dikatakan anak baik oleh lingkungannya.
           Thomas lickona  mengatakan fase ini bias berlangsung pada usia antara 8 ½ sampai 14 tahun. Dengan cirri-ciri perkembangan moral sebagai berikut;
·         Ingin mendapatkan penghargaan social dari orang lain sehingga mau berbuat sesuatu agar orang lain berfikir bahwa “saya adalah orang baik”
·         Sudah dapat mengerti konsep (golden rool) . “ harus memerlukan orang lain seperti kamu mengharapkan orang lain memperlakukanmu”.
·         Dapat mengerti apa yang dibutuhkan orang lain, tidak semata-mata berfikir “apa yang dapat saya peroleh” Apabila mereka bisamenempatkan dirinya pada orang lain,mereka bias melakukan kebaikan.
·         Bisda menerima otoritasorang tua dan berfikir  “orang tua adalah bijak dan perlu mengikuti nasehatnya.”
·         Bisa menerima tanggung jawab dan melakukan uintuk kepentingan keluarga, karena mefreka sudah mempunyai perspektif sebagai anggota sebuah kelompok.
·         Cenderung merasa kurang percaya diri, dan merasa tidak aman
·         Sudah mempunyai nurani atau rasa bersalah dan malu.
Pendidikan karakter yang diberikan pada fase ini menurut lickona adalah;
·         Memelihara hubungan yang baik dengan mereka dengan menjalin komunikasi, turut serta dalam memecahkan masalahnya,dan membantu mereka untuk menemukan identitas dirinya.
·         Membantu membangun konsep yang positif, misalnya dengan tidak membanding-bandingkan dengan kawannya, memberikan penghargaan pada prilaku positif yang mereka lakukan, dorong mereka untuk mencari kawan yang baik, bantu mereka untuk menghilangkan kebiasaanmengecilkan orang lain.
·         Mendiskusikan permasalahan moral
·         Menyeimbangkan antara memberi kebebasan terhadap  mereka dan mengontrol tindakan mereka.


        
5.    Fase 4; Ingin Menjaga Kelompok
          
           Fase ingin menjaga kelompok berkisar usia antara 16-19 tahun. Pada fase ini anak merasa bahwa ia mempunyai tugas untuk menjaga keutuhan kelompoknya.  Menurut Brofenbrenner, kesetiaan kepada kelompok adalah kewajiban, sehingga kepentingan kelompok harus berada diatas kepentingan pribadi.
           Pada fase ini diharapkan anak sudah dapat mencapai tahapan moral, yaitu kepatuhan terhadap aturan, dank ode etik yang berlaku dalam masyarakat. Biasanya  orang yang sudah mencapai pada tahapan  moral ini akan menghormati pemimpinnya, dan menggap pemimpin itu adalah selalu benar.
Ciri-ciri perkembangan moral pada fase ini menurut Lickona adalah;
·         Percaya adalah manusia yang baik adalah manusia yang bertanggung jawab terhadap peran dalamsistem social dimana ia berada
·         Lebih mandiri sehingga pengaruh peer pressure akan menurun,karena cenderung lebih memikirkan bagaimana memenuhi perannya sebagai anggota sebuah system social, dibandingkan menuruti apa keinginan kawan-kawannya
·         Dapat melihat dampak yang lebih besar dari sebuah tindakan negative.
·         Peduli kepada sesame anggota system sosiL (keluarga, masyarakat, agama) walaupun kepada orang yang tidak dikenalnya.
·         Sudah mengerti bahwa dirinya harus melakukan peran untuk keutuhan system sosialnya, dan sudah mengerti bagaimana pentingnya menjadi warga Negara yang baik. Sudah tertarik pada permasalahan politik.
            Pada orang tua dan pendidik dapat membantu mereka dalam pendidikan karakter, sehingga memperoleh moral yang tinggi dengan cara;
·      Mengajak mereka berdiskusi dapat mencerahkan hati nuraninya berdasarkan prinsip menghormati orang lain dan menjalankan kewajibannya sebagai anggota sebuah system social
·      Mengajak berdiskusi tentang permasalahan moral yang dihadapinya oleh masyarakat dan mendorong mereka untuk berfikir memberikan kontribusi positif terhadap system social
·      Memberikan pengalaman nyata kepada mereka dalam berpartisipasi didalam lingkungan komunitasnya.
·      Mendorong mereka untuk memikirkan masa depannya apa yang harus dipersiapkan dari sekarang agar dapat memberikan kontribusi positif bagi orang lain.
6.   Fase 5; Moralitas Tidak Berpihak
           Fase ini merupakan tahapan moral tertinggi yang seharusnya dicapai manusia. Karena mengacu kepada prinsip moral universal, yaitu tidak tergantung kepada kepentingan pribadi atau kepentingan kelompok.
           Kohlberg mengatakan tahapan ini sebagai tahapan  ke 6 yang disebut universal principles, yaitu komitmen penuh terhadap prinsip moral “tidak pandang bulu”. Apabila ada konplik antara peraturan masyarakat/kelompok yang bertentangan dengan prinsip moral universal, maka mereka akan tetap berpegang teguh pada moral ini.
           Ciri-ciri maanusia yang sudah mencapai tahapan moral 5 menurut lickona;
·         Percaya bahwa setiap hak asasi manusia harus dihormati, dan akan mendukung setiap system social yang menghargai hak asasi manusia
·         Dapat bersikap objektif untukmenilai kebenaran walaupun harus berada diluar ideology system sosialnya
·         Tidak memaksakan kehendaknya kepada orang lain, dan hanya berpegangteguh pada prinsip”setiap manusia untuk bertanggung jawab menghormati hak-hak orang lain”
·         Merasa berkewajiban membantu siapa saja, walaupun harus membantu orang lain berasal dari musuh  system sosialnya
·         Percaya bahwa tujuan tidak membenarkan cara (walaupun tujuan bagus, tidak boleh dilakukan dengan cara yang buruk)
·         Mempunyai komitmen terhadap tanggung jawabnya

·         Percaya bahwa semua manusia walaupun berbeda agama, status, kelompok, suku, harus dilakukan secara moral.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Materi Diklat Guru PAUD: Pengenalan Matematika bagi Anak Usia Dini Melalui Permainan

Materi Diklat Guru PAUD: Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi dalam Pembelajaran PAUD

babak baru pnfi