Materi Diklat Guru PAUD: Pengembangan Karakter pada Anak Usia Dini
PENGEMBANGAN
KARAKTER
A.
Apa Itu Karakter?
Karakter berasal dari bahasa Yunani yang
berarti “to mark” atau menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai
kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak
jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter
jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut
dengan berkarakter mulia.
Krakter mulia berarti individu memiliki
pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif,
percaya diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri,
hidup sehat, bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela
berkorban, pemberani, dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah
hati, malu berbuat salah, pemaaf, berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun,
ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir positif, disiplin, antisipatif,
inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis, hemat/efisien, menghargai
waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri, produktif, ramah, cinta
keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu juga memiliki
kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau unggul, dan individu juga
mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut.
Mempunyai akhlak mulia adalah tidak secara
otomatis dimiliki oleh setiap manusia begitu ia dilahirkan, tetapi memerlukan
proses panjang melalui pengasuhan dan pendidikan (proses “pengukiran”) dalam
istilah bahasa arab karakter ini mirip dengan ahlak (akar kata khuluk), yaitu
tabiat atau kebiasaan melakukan hal yang baik. Al Ghazali menggambarkan bahwa ahlak
adalah tingkah laku seseorang yang berasal dari hati yang baik.
Pengertian karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas
adalah “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas,
sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter adalah
berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Menurut
Tadkiroatun Musfiroh (UNY, 2008), karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes),
perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills).
Secara psikologis karakter individu dimaknai
sebagai hasil keterpaduan empat bagian, yakni olah hati, olah pikir, olah raga,
serta olah rasa dan olah karsa. Olah
hati berkenaan dengan perasaan sikap dan keyakinan/keimanan seperti beriman
dan bertatakwa, jujur, amanah, adil tertib, taat aturan, bertanggung jawab,
berempati, berani mengambil resiko, pantang menyerah, rela berkorban, dan
berjiwa patriotik. Olah pikir
berkenaan dengan proses nalar guna mencari dan menggunakan pengetahuan antara
lain, berfikir cerdas, kritis, kreatif,
dan inovatif, ingin tahu produktif, berorientasi Iptek dan reflektif, Olah raga berkenaan dengan proses
persepsi, kesiapan, peniruan, manipulasi, dan penciptaan aktivitas baru
disertai sportivitas, antara lain karakter yang bersumberdari olah raga adalah
bersih dan sehat, sportif, tangguh, andal, berdaya, tahan, bersahabat, kooperatif,
determinative, kompetitip, ceria dan gigih.
Olah rasa dan karsa berkenaan dengan kemauan dan kreativitas yang tercermin dalam
kepedulian, citra, dan penciptaan kebaruan antara lain kemanusiaan, saling
menghargai, gotong royong, kebersamaan, ramah, hormat, toleran. Olah hati, olah
pikir, olah raga, olah rasa dan karsa, sebenarnya saling terkait satu sama
lain.
Dapat disimpulkan karakter merupakan ciri
khas seseorang yang mengandung nilai, kemampuan, kapasitas moral, dan ketegaran
dalam menghadapi kesulitan dan tantangan.
B.
Tujuan
Pendidikan Karakter
Berbagai pendapat dari banyak pakar
pendidikan anak, bahwa terbentuknya karakter (kepribadian) manusia adalah
ditentukan oleh 2 faktor, yaitu (1) nature (factor alami atau fitrah), 2 nature
(sosialisasi dan pendidikan).
Pengaruh Nature (fitrah). Agama mengajarkan
bahwa setiap manusia mempunyai kecenderungan (fitrah) untuk mencintai kebaikan.
Namun fitrah ini adalah bersifat potensial, atau belum termanifestasi ketika
anak dilahirkan. Confucius, seorang filsuf dari Cina pada abad V SM juga
mengatakan bahwa walaupun manusia mempunyai fitrah kebaikan, namun tanpa
diikuti dengan instruksi (pendidikan dan sosialisasi), maka manusia dapat
berubah menjadi binatang, bahkan lebih buruk lagi (dikutif dari Brooks dan
Goble,1997)
Lebih lanjut, seorang Sufi, Bawa
Muhaiyaddeen, mengatakan bahwa setiap manusia dilahirkan dengan segala macam
potensi kebaikan, beliau mengibaratkan sebuah pohon yang akar aslinya adalah,
misalnya pohon mangga harumanis, namun ketika pohon itu sedang tumbuh,
diokulasi dengan jenis pohon mangga lain yang rasanya asam. Sehingga potensi
pohon tersebut yang seharusnya berbuah mangga harummanis, ternyata berbuah
mangga yang lebih jelek.Namun potensinya (akar dan fitrahnya) masih tetap
mangga harummanis.
Nature.
Faktor lingkungan, yaitu usaha memberikan pendidikan dan sosialisasi adalah
sangat berperan didalam menentukan “buah” seperti apa yang akan dihasilkan
nantinya dari seorang anak. Dalam pendidikan dan pengasuhan perlu kita pertanyakan apakah kita ingin merawat
fitrah kebaikan sehingga akan tumbuh menjadi “pohon” yang kuat, atau kita
diamkan saja dengan tidak “merawat”nya sehingga anak itu menjadi kerdil, atau
kita ingin okulasi dengan sifat-sifat keburukan kepada anak.
Ibaratnya sebuah pohon yang masih kecil yang
mempunyai potensi menjadi pohon besar, merawatnya dengan kasih sayang adalah
sangat diperlukan. Ketika pohon sedang tumbuh, disekelilingnya pasti akan
tumbuh rumput-rumput gulma yang akan mengganggu pohon tersebut untuk menjadi kokoh. Bahkan pertumbuhan gulma
akan menjadi lebih cepat dan lebih mudah tumbuh besar dibandingkan pohon
tersebut. Kita sebagai seorang tukang kebun yang merawatnya, harus terus
membersihkan gulma tersebut, mencabut ketika gulma tersebut masih kecil.
Apabila tidak, pohon yang sedang kita rawart akan tumbuh kerdil dan tidak dapat
menjadi pohon kokoh seperti yang kita inginkan.
Begitu pula pada manusia, anak-anak dengan
fitrahnya yang bersih, namun dalam proses tumbuh kembangnya pasti akan
dikelilingi oleh berbagai sifat keburukan yang berusaha tumbuh menyaingi
pertumbuhan fitrah tersebut, oleh karena itu sejak usia dini anak harus dirawat
dan dididik dengan nilai-nilai yang akan menyuburkan fitrah kesucian manusia
untuk tumbuh kokoh.
Terkait dengan uraian di atas, untuk
menumbuhkan karakter manusia diperlukan peranan pendidik. Peranan pendidik
terhadap anak didiknya adalah : (a) mendidik, (b) mengjar, (c) membimbing, (d)
melatih, dan (e) menilai. Kelima unsur peranan ini wajib dikembangkan oleh
pendidik dan tidak boleh bertentangan fitrah(watak
asli) yang baik dari peserta didik. Sebab menurut Saleh Abdurrahman (1982: 84)
jika manusia sejak lahir membawa kebaikan-kebaikan (fitrah), maka tugas
pendidik harus mengembangkan elemen-elemen (baik) tersebut yang dibawanya sejak
lahir. Dan itulah yang banyak diperkenalkan juga melalui istilah nilai (Value),
sebagaimana dinyatakan di dalam Encyclopedia Britannica bahwa value is determination or quality of an
object wich involves any sort or appriciation on interest (nilai adalah
suatu penetapan atau suatu kualitas obyek yang menyangkut suatu jenis apresiasi
atau minat).
Pendidik sebagai salah satu pembentuk
karakter peserta didik, sementara lembaga pendidikan seperti sekolah sebagai “laboratorium karakter” dapat membuat
suasana pembelajaran untuk membentuk karakter yang diinginkan. Karakter itu
adalah seperti diisyaratkan dalam tujuan pendidikan nasional dengan menempatkan
pembentukan manusia indonesia seutuhnya berdasarkan keimanan, ketakwaan, dan
akhlak mulia. Atas dasar-dasar itu kita harapkan karakter lulusan lembaga
pendidikan mampu tampil menguasai ilmu, pengetahuan, sains, dan teknologi yang
tetap berkepribadian sebagai seorang “anak” Indonesia.
Adapun tujuan pendidikan karakter
yang dilakukan di lembaga pendidikan terutama kober/TK adalah agar dapat
memberikan arah mengenai konsep baik dan buruk sesuai dengan tahap perkembangan
umur anak.
Berdasarkan pembahasan di atas dapat
ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang
dirancang dan dilaksanakan secara sistematis, bertujuan untuk membantu peserta
didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang
Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang
terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma
agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
C. Nilai-Nilai Karakter
Pendidikan
karakter adalah sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil
keputusan dengan bijak dan mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari,
sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya.
Nilai-nilai karakter yang perlu di tanamkan kepada anak-anak adalah nilai-nilai
universal yang mana seluruh agama, tradisi, dan budaya pasti menjunjung tinggi
nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai universal ini harus dapat menjadi perekat
bagi seluruh anggota masyarakat walaupun berbeda latar belakang budaya, suku,
dan agama.
IHI
telah menyusun serangkaian nilai yang selayakanya diajarkan kepada
anak-anak, yang kemudian dirangkum menjadi 9 pilar karakter, yaitu:
1.
Cinta Tuhan dan
Segenap Ciptaan-Nya (love Allah, trust, reverence, loyalty)
2.
Kemandirian dan
Tanggung jawab (responsibilty, excellence, self reliance, discipline,
orderliness)
3.
Kejujuran/ Amanah,
Bijaksana (trustworthiness, reliability, honesty)
4.
Hormat dan santun
(respect, courtessy, obdience)
5.
Dermawan, Suka
Menolong dan Gotong Royong (love, compasion, caring, empathy, generousity,
moderation, cooperation)
6.
Percaya diri, Kreatif, dan Pekerja Keras (confidence,
assertiveness, creativity, resourcefulness, courage, determination and
enthusiasm)
7.
Kepemimpinan dan
Keadilan (justice, fairness, mercy, leadership)
8.
Baik dan Rendah
Hati (kindness, friendliness, humility, modesty)
9.
Toleransi dan
Kedamaian dan Kesatuan (tolerance, flexibility, peacefulness, unity)
Dalam masyarakat yang heterogen seperti di
Indonesia, nilai-nilai karakter yang ditanamkan harus menjadi dasar kesamaan
nilaiyang akan menjadi perekat pada elemen-elemen masdyarakat yang berbeda,
sehingga masyarakat dapat hidup berdampingan secara damai dan tertib, yang
akhirnya menciptakan suasana sinergi yang sangat produktif bagi kemajuan
bangsa.
Pada masyarakat yang heterogen dengan
berbeda-beda latar belakang sosial budaya dan agama, adanya common values
(nilai-nilai yang dijunjung tinggi bersama) sangat diperlukan. Nilai-nilai ini
bisa menjadi perekat yang efektif sehingga akan tercipta relasi sosial yang
harmoni, yaitu terjadinya rasa kebersamaan. Misalnya, adanya nilai kejujuran
yang di junjung tinggi maka akan membuat setiap orang percaya pada kelompok
masyarakat lainnya, bahwa mereka tidak akan diambil haknya atau ditipu. Juga
dengan adanya tanggung jawab, setiap orang akan menjalankan kewajibannya,
sehingga hak semua orang akan terpenuhi.
Ada
beberapa nilai yang di anggap perlu untuk dijadikan fokus pendidikan karakter.
Misalnya dalam Deklarasi Aspen dihasilkan enam nilai etik utama ( core athical
values) yang disepakati untuk diajarkan dalam sistem pendidikan karakter di
Amerika yang meliputi:
1.
Dapat dipercaya (trustworthy) meliputi sifat jujur
(honesty) dan integritas (integrity)
2.
Memperlakukan orang lain dengan hormat (treats people
with respect)
3.
Bertanggung jawab (responsible)
4.
Adil (fair)
5.
Kasih sayang (caring)
6.
Warga negara yang baik (good citizen)
Untuk kasus Indonesia yang sedang bangkit
dari kondisi kritis, Abdullah Gymnastiar (2001) mengatakan bahwa ada 7 (tujuh)
ciri pribadi yang mampu meraih kesuksesan hidup, dan ketujuh ciri ini harus
dimiliki manusia kalau ingin sukses. Ketujuh ciri ini disebut 7 T, yiatu
Tenang, Terencana, Terampil, Tertib, Tekun, Tegar , dan Tawadhu. Gymnastiar
percaya bahwa untuk membangun bangsa harus dimulai dengan Manajemen Qolbu,
terutama membangun kebersamaan, persaudaraan, kedamaian, kejujuran, pemimpin
amanah, dan semangat.
IHF telah membuat konsep 9 pilar
karakter untuk dijadikan modul pendidikan karakter, dan modul ini telah
diujicobakan sejak tahun 2001 melalui kegiatan pra-sekolah (SBB) dan Sekolah
Dasar (sejak tahun 2003). Setiap pilar adalah kumpulan dari beberapa nilai
karakter yang serupa.. Kesembilan pilar ini
adalah nilai-nilai yang bersifat universal, yaitu (1) Cinta Tuhan dan
Segenap Ciptaan-Nya, (2) Kemandirian dan Tanggung Jawab, (3) Kejujuran/Amanah,
Bijaksana, (4) Hormat dan Santun, (5) Dermawan , Suka Menolong dan Gotong
Royong,(6) Percaya Diri, Kreatif, dan Pekerja Keras, (7) Kepemimpinan dan
Keadilan, (8) Baik dan Rendah Hati, (9) Toleransi, Kedamaian dan Kesatuan.
Kesembilan karakter tersebut sesuai
dengan yang diinginkan oleh Schopenhauer dan lain-lain yang mempunyai prinsip
sama. Hanya saja kecintaan kepada Tuhan dan alam semesta beserta isinya
dimasukan dan ditempatkan sebagai pilar pertama , karena semua kebijakan harus
bersumber daripilar pertama ini. Untuk konteks Indonesia, aspek ke-Tuhan ini
memang sesuai dengan apa yang terdapat dalam dasar ideology negara (Pancasila)
yang ditempatkan pada sila pertama. Diharapakan dengan menanamkan 9 pilar ini,
manusia Indonesia yang berkarakter dapat terwujud.
Pada tataran kebijakan pendidikan
nasional terbaru, kesembilan karakter yang
dikembangkan oleh IHF, ternyata sejalan dengan nilai-nilai yang ingin
ditanamkan dalam konsep pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill) melalui
Pendidikan Berbasis Luas (Brood Based Education) yang diluncurkan oleh
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) pada tahun 2002. Orientasi
pendidikan kecakapan hidup yang berkaiatan dengan pendidikan karakter adalah
untuk mengembangkan general Life Skill anak dari jenjang pra-sekolah sampai
sekolah menengah. Adapun aspek general life skill yang berkaitan dengan 9 pilar
karakter adalah.
1.
Kesadaran diri (self awareness)
a.
Keimanan sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa (pilar 1)
b.
Pengembangan karakter : cinta kebenaran (pilar 1),
tanggung jawab dan disiplin (pilar 2), saling menghargai (pilar 4), dan
membantu (pilar 5).
c.
Belajar memelihara lingkungan (pilar 5)
2.
Kesadaran akan potensi diri
a.
Belajar menolong diri sendiri (pilar 2)
b.
Belajar menumbuhkan kepercayaan diri (pilar 6)
3.
Kecakapan social (social skill)
a.
Kecakapan (pilar 5)
b.
Bekerja (pilar 5)
Kesembilan pilar karakter tersebut
dipakai sebagai salah satu ukuran dalam kompetensi dasar siswa TK dan SD dalam
kurikulum “Integrated learning curriculum”.
Kesimpulannya,
nilai-nilai yang terkadang didalam 9 pilar karakter adalah merupakan
shared-values yang dujunjung tinggi oleh bangsa Indonesia. Oleh karena itu,
kekhawatiran beberapa pakar akan adanya isu “ whose values ?” (moralitas
menurut siapa) yang harus ditanamkan kepada anak-anak, tidak relevan dalam hal
ini.
D. Faktor-Faktor Penghambat dan Pendukung Perkembangan Karakter Anak
Pembentukan
Dan Pemberian Rangsangan Karakter
Sesuai Perkembangan Anak
Pendidikan
karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada anak yang
meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan
nilai-nilai. Oleh karena itu pendidikan karakter yang diberikan kepada anak harus memperhatikan tahap-tahap perkembangan
moral anak. Terkait dengan pendidikan Karakter anak beberapa pakar telah
menyusun tahapan-tahapan perkembanganmoral individu, yang sebetulnya satu sama
;lain adalah saling melengkapi. Pendidikan karakter baik dirumah maupun
disekolah harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan moral anak agar
pendekatannya patut (appropriate).
Menurut
Kohlberg ada 6 paseperkembangan moral anak yaitu:
1. Fase Bayi; Membangun fondasi Moral
Pada fase ini bayi belum mengerti
tentang moral, sehingga belum mengerti arti baik dan buruk. Peran orang tua
pada fase ini memiliki peranan yang sangat besar, karena fondasi moral dibentuk
dalam fase ini. Pada awal kehidupan bayi, kelekatan ibu dan anak sangat
diperlukan, bahkan menurut Eric Neuman harus ada total bonding (penyatuan
total) antara ibu dan anak, yaitu tidak ada keterpisahan antara ibu dan anak.
Dikatakan bahwa penyatuan sempurna ( uroboric state) hanya dirasakan
manusia selama 9 bulan. Yaitu ketika didalam kandungan. Oleh karena itu cinta dan kasih saying dari orang tua sangat
dibutuhkan dalam fase ini.
Menurut
Bolwby dan Alnswarth et.al. anak-anak usia bayi sangat membutuhkan;
a. Kelekatan Psykologis Antara orang tua dan anak
b. Ekspresi Cinta
c. Responsif terhadap
kebutuhan anak
d. Kebutuhan akan rasa aman
e. Kebutuhan akan stimulasi fisik dan mentaltoritas
f. Keseimbangan antara cinta dan o
Menurut Judith Schickedanz (1995) telah membuktikan
adanya pengaruh positif kelekatan psikologi anak ketika bayi pada prilaku anak
usia selanjutnya. Anak-anak yang mempunyai sifat kelekatan psikologis yang erat
dengan ibunya mempunyai sifat lebih baik, yaitu mudah bergaul, mudah diatur,
mempunyai mitivasi belajar tinggi, antusias dengan aktifitas disekolahnya,
dibandingkan dengan anak-anakyang ketika bayi kurang lekat hubungan dengan
ibunya.
2. Fase Berfikir Egosentris
Fase ini menurut Bronfenbrenner
adalah fase dimana anak berfikir sangat egois
( self-oriented morality).
Lockona mengatakan berkisar usia 4 tahun, Sedangkan Kohlberg bias bermula usia
1-5 tahun, yang disebut masa pre-conventional
morality, yaitu tahapan “reward and punishment” (hadiah dan hukuman.
Menurut tahapan Erikson anak pada usia 1-3 tahun, adalah masa pembentukan outonormy versus shame and doubt (kemandirian lawan malu dan keraguan), Pada
masa ini anak mau berbuat baik kalau ada insentif (hadiah atau pujian), dan
takut mendapatkan hukuman kalau bersalah.
Anak pada usia ini adalah egois,
sehingga sulit untuk berbagi mainan dengan kawan-kawannya, Oleh karena itu,
sekolah yang baik harus menyiapkan lebih dari satu mainan yang jenisnya sama,
agar tidak konflik antar lawannya di sekolah. Pada usia 2-3 tahun seorang anak
yang cenderung egois, maka ada kecenderungan orang tua atau guru sering
melarang atau membentak anak. Menurut
Erikson, anak yang sering
dilarang atau dimarahi tidak akan terbentuk masakemandiriannya, sehingga anak
akan menjadi pemalu dan tidak percaya diri. Jika menemui anak seperti ini orang
tua atau guru harus menghadapinya dengan cara member arahan yang lembut tetapi
tegas, dan memberikan alasanyang jelas mengapa sebuah perbuatan dilarang
dilakukan.
Menurut Lickona, anak usia 2-3 tahun
sudah dapat diperkenalkan sopan santun, dan perbuatan baik dan buruk. Pada usia
ini sulit dsiatur, sehingga memerlukan kesabaran orang tua dan guru jika
disekolah, selain egois anak pada masa ini
senang melanggar aturan, memamerkan diri, dan senang memaksakan
keinginannya yang kadang-kadang dilakukan secara manipulatif dan berbohong.
Namun anak pada fase ini bias mengerti kaidah moral baik dan buruk bila
diajarkan. Mereka mau berperilaku daik karena ingin mendapatkan hadiah/pujian
dan menghindari hukuman. Mereka juga bisa menunjukan sikap kooperatif dan kasih
saying sejauh tidak konflik dengan kepentinggannya.
Menurut ahli psikologi ada beberapa
cara yang harus dilakukan dalam memberikan pendidikan karakter pada anak-anak
fase ini;
Menurut
Lickona, dengan cara memberikan insentif agar anak berperilaku baik misalnya, dengan cara memberi pujian,
memberikan arahan yang jelas tentang bagaimana perbuatan yang baik ( misalnya,
anak yang baik tidak akan memukul temannya), memberikan aturan sangsi yang
jelas (misalnya anak yang berteriak tidak sopan tidak akan diberikan kesempatan
untuk menggambar dipapan tulis) cara ini akan efektif karena anak-anak pada
fase ini adalah disebut fase egosentris, sehingga si anak akan menurut apabila
kepentingannya dapat dipenuhi.
Menurut Ericson, cara terbaik untuk
menghadapi anak usia ini adalah dengan memberikan beberapa pilihan, sehingga
mereka dapat mengembangkan beberapa pilihan, sehingga mereka dapat mengembangkan
rasa percaya diri, dan kemandiriannya, yaitu dalam menentukan sendiri apa yang
diinginkannya. Misalnya, pada waktu-waktu tertentu sekolah memberikan beberapa
alternative permainan di kelas, dan membolehkan anak memilih sendiri sesuai
keinginannya.
Anak pada fase ini sudah mempunyai
rasa empati,karenanya cukup afektif seorang anak diajarkan melihat dari
perspektif orang lain ( misalnya ibumu akan sedih kalau kamu berbohong”, atau
akan alangkah senangnya hati ibu guru
kalau kamu membantu ibu guru untuk tidak berteriak di dalam kelas” )
Ada beberapa yang perlu menjadi
perhatian orang tua atau guru disekolahnya untuk menghadapi anak fase
egosentris, dimana para pendidik harus mengerti bahwa anak pada fase iniagak
sulit untuk ditanganni, tetapi itu tidak berlanjut lama, melainkan hanya
sementara saja
3. Fase 2 ; Patuh Tanpa Syarat
Menurut Thomas Lickona, fase patuh
tanpa syarat berkisar antara usia empat setengah tahun (4 ½) sampai 6 tahun. Anak-anak pada fase ini lebih
mudah menurut diajak kerja sama, sehingga mereka mudah mengerjakan perintah
orang tua atau guru. Alasan mereka ingin patuh karena agar terhindar dari
masalah atau hukuman, Namun ada kalanya anak-anak usia ini masih
menunjukkanperilaku anak-anak fase 1, yaitu sangat egosentris. Hal ini berarti
anak-anak tersebut perkembangan moralnya tidak optimal.
Lickona mengatakan bahwa cirri khas
perkembangaanmoral anak-anak fase ini adalah;
·
Dapat
mednerima pandangan orang lain, namun pandangan yang dianggap benar adalah
orang dewasa.
·
Bisa menghormati otoritas orang tua atau guru
·
Menggap orang
dewasa adalah maha tahu dan mudah untuk
melihat kawannya yang nakal atau
melanggar aturan.
·
Senang
mengadukan kawan-kawannya yang nakal karena menganggap orang dewasa adalah
satu-satunya panutan moral. Mereka menganngap bahwa yang melanggar aturan harus
dihukum, dan yang baik harus diberi hadiah
·
Walaupun
mereka berfikir bahwa mereka harus
mematuhi aturan, apabila mereka tidak ada orang dewasa atau guru yang
melihat mereka cenderung melanggarnya
mereka belum mengerti mengapa peraturan dibuat.
Pada fase ini pendidikan karakter dapat
diberikan secara control eksternal dimana guru dapat secara otomatis
mengajarkan moral baik dan buruk. Anak
pada fase ini sangat percaya terhadap apa yang diucapkan gurunya, maka pada fase ini sangat penting ditanamkan
perilaku baik dan sopan.Pada fase ini pendekatan pendidikan karakter harus
memberikan peluang bagi anak untuk mengerti alasan lain diluar alasan guru.
Misalnya, mengapa mengapa mencuri tidak baik, anak pada fase ini pasti member
alasan karena takut dihukum., tatapi tidak bias melihat pada tingkat yang lebih
tinggi. Oleh karena itu perlu diberikan pandangan bagaimana kalau temanmua
mencuri mainan kesukaanmu.
4. Fase 3; Memenuhi harapan Lingkungan
Pada fase memenuhi harapan lingkungan
menurut Kohlberg menyebutnya fase “anak baik”
(good boy/ good girl stage).
Anak-anak pada fase ini ingin diterima kawan-kawannya, sehingga tindakannya
cenderung ingin disesuaikan dengan apa yang diharapkan dalam lingkungan sebayanya.
Pada masa ini anak sudah mengerti moral baik dan buruk (golden rool) , tetapi lebih didorong oleh keingginan untuk
dikatakan anak baik oleh lingkungannya.
Thomas lickona mengatakan fase ini bias berlangsung pada
usia antara 8 ½ sampai 14 tahun. Dengan cirri-ciri perkembangan moral sebagai
berikut;
·
Ingin
mendapatkan penghargaan social dari orang lain sehingga mau berbuat sesuatu
agar orang lain berfikir bahwa “saya adalah orang baik”
·
Sudah dapat
mengerti konsep (golden rool) . “
harus memerlukan orang lain seperti kamu mengharapkan orang lain
memperlakukanmu”.
·
Dapat
mengerti apa yang dibutuhkan orang lain, tidak semata-mata berfikir “apa yang
dapat saya peroleh” Apabila mereka bisamenempatkan dirinya pada orang
lain,mereka bias melakukan kebaikan.
·
Bisda
menerima otoritasorang tua dan berfikir
“orang tua adalah bijak dan perlu mengikuti nasehatnya.”
·
Bisa menerima
tanggung jawab dan melakukan uintuk kepentingan keluarga, karena mefreka sudah
mempunyai perspektif sebagai anggota sebuah kelompok.
·
Cenderung
merasa kurang percaya diri, dan merasa tidak aman
·
Sudah
mempunyai nurani atau rasa bersalah dan malu.
Pendidikan karakter yang diberikan pada fase ini menurut lickona
adalah;
·
Memelihara
hubungan yang baik dengan mereka dengan menjalin komunikasi, turut serta dalam
memecahkan masalahnya,dan membantu mereka untuk menemukan identitas dirinya.
·
Membantu
membangun konsep yang positif, misalnya dengan tidak membanding-bandingkan
dengan kawannya, memberikan penghargaan pada prilaku positif yang mereka
lakukan, dorong mereka untuk mencari kawan yang baik, bantu mereka untuk
menghilangkan kebiasaanmengecilkan orang lain.
·
Mendiskusikan
permasalahan moral
·
Menyeimbangkan
antara memberi kebebasan terhadap mereka
dan mengontrol tindakan mereka.
5. Fase 4; Ingin Menjaga
Kelompok
Fase ingin menjaga kelompok berkisar
usia antara 16-19 tahun. Pada fase ini anak merasa bahwa ia mempunyai tugas
untuk menjaga keutuhan kelompoknya.
Menurut Brofenbrenner, kesetiaan kepada kelompok adalah kewajiban,
sehingga kepentingan kelompok harus berada diatas kepentingan pribadi.
Pada fase ini diharapkan anak sudah
dapat mencapai tahapan moral, yaitu kepatuhan terhadap aturan, dank ode etik
yang berlaku dalam masyarakat. Biasanya
orang yang sudah mencapai pada tahapan
moral ini akan menghormati pemimpinnya, dan menggap pemimpin itu adalah
selalu benar.
Ciri-ciri
perkembangan moral pada fase ini menurut Lickona adalah;
·
Percaya
adalah manusia yang baik adalah manusia yang bertanggung jawab terhadap peran
dalamsistem social dimana ia berada
·
Lebih mandiri
sehingga pengaruh peer pressure akan
menurun,karena cenderung lebih memikirkan bagaimana memenuhi perannya sebagai
anggota sebuah system social, dibandingkan menuruti apa keinginan
kawan-kawannya
·
Dapat melihat
dampak yang lebih besar dari sebuah tindakan negative.
·
Peduli kepada
sesame anggota system sosiL (keluarga, masyarakat, agama) walaupun kepada orang
yang tidak dikenalnya.
·
Sudah
mengerti bahwa dirinya harus melakukan peran untuk keutuhan system sosialnya,
dan sudah mengerti bagaimana pentingnya menjadi warga Negara yang baik. Sudah
tertarik pada permasalahan politik.
Pada orang tua dan pendidik dapat
membantu mereka dalam pendidikan karakter, sehingga memperoleh moral yang
tinggi dengan cara;
· Mengajak mereka berdiskusi dapat mencerahkan hati
nuraninya berdasarkan prinsip menghormati orang lain dan menjalankan
kewajibannya sebagai anggota sebuah system social
· Mengajak berdiskusi tentang permasalahan moral yang
dihadapinya oleh masyarakat dan mendorong mereka untuk berfikir memberikan
kontribusi positif terhadap system social
· Memberikan pengalaman nyata kepada mereka dalam
berpartisipasi didalam lingkungan komunitasnya.
· Mendorong mereka untuk memikirkan masa depannya apa yang
harus dipersiapkan dari sekarang agar dapat memberikan kontribusi positif bagi
orang lain.
6. Fase 5; Moralitas Tidak Berpihak
Fase ini merupakan tahapan moral
tertinggi yang seharusnya dicapai manusia. Karena mengacu kepada prinsip moral
universal, yaitu tidak tergantung kepada kepentingan pribadi atau kepentingan
kelompok.
Kohlberg mengatakan tahapan ini
sebagai tahapan ke 6 yang disebut universal principles, yaitu komitmen
penuh terhadap prinsip moral “tidak pandang bulu”. Apabila ada konplik antara
peraturan masyarakat/kelompok yang bertentangan dengan prinsip moral universal,
maka mereka akan tetap berpegang teguh pada moral ini.
Ciri-ciri maanusia yang sudah
mencapai tahapan moral 5 menurut lickona;
·
Percaya bahwa
setiap hak asasi manusia harus dihormati, dan akan mendukung setiap system
social yang menghargai hak asasi manusia
·
Dapat
bersikap objektif untukmenilai kebenaran walaupun harus berada diluar ideology
system sosialnya
·
Tidak
memaksakan kehendaknya kepada orang lain, dan hanya berpegangteguh pada
prinsip”setiap manusia untuk bertanggung jawab menghormati hak-hak orang lain”
·
Merasa
berkewajiban membantu siapa saja, walaupun harus membantu orang lain berasal
dari musuh system sosialnya
·
Percaya bahwa
tujuan tidak membenarkan cara (walaupun tujuan bagus, tidak boleh dilakukan
dengan cara yang buruk)
·
Mempunyai
komitmen terhadap tanggung jawabnya
·
Percaya bahwa
semua manusia walaupun berbeda agama, status, kelompok, suku, harus dilakukan
secara moral.
Komentar